Tahar Hotel: Memenangi Suhu 7 Derajat Celcius

<—-Kisah Sebelumnya

Hampir pukul empat sore….

Sebuah layar LCD mungil milik bandara memperlihatkan suhu luar ruangan yang telah menyentuh minus 7o Celcius, suhu yang menyiutkan nyali siapapun yang berasal dari daerah dua musim sepertiku.

Aku berjalan penuh ketergesaan di sepanjang conveyor belt-baggage claim Almaty International Airport. Selanjutnya menuju exit gate sembari mengamati kesibukan para pelancong yang berdiri berjajar mengelilingi conveyor belt demi mencari keberadaan check-in baggage mereka masing-masing.

Berhasil menemukan exit gate, aku bebelok ke sisi utara bangunan bandara demi mencari keberadaan money changer. Tujuanku jelas yaitu sesegera mungkin menukar Dollar untuk bisa melakukan transaksi di sekitar bandara, aku sedang berlomba dengan gulita dalam menemukan penginapan yang jaraknya 20 Kilometer dari bandara.

Akhirnya aku menemukan sebuah money changer yang dijaga oleh gadis muda berambut pirang dengan panjang sebahu. Sejenak aku terdiam mengamati, konter penukaran valas itu menyediakan ruang sempit memanjang bagi pengunjung untuk bertransaksi. Praktis hanya satu orang saja yang bisa masuk ke ruang itu. Aku yang bermaksud untuk masuk pun diminta untuk keluar terlebih dahulu hingga penukar valas yang bertransaksi sudah selesai.

Sewaktu kemudian, akhirnya aku mendapatkan sejumlah Tenge*1) yang kubutuhkan.

Arrival Hall Almaty International Airport.
Arrival Hall Almaty International Airport.
Deretan money changer di Almaty International Airport.

Maka langkah selanjutnya adalah berjibaku untuk segera menemukan konter penjualan SIM card lokal demi mendapatkan akses internet di wilayah teritorial Kazhakstan. Alhasil, di sisi selatan, tepat berada di depan Artlunch Restaurant aku menemukan sebuah konter penjual telepon pintar. Aku bergegas menghampiri dan kedatanganku disambut oleh gadis muda, kali ini gadis Kazhakstan itu berambut hitam legam dengan wajah khas Kaukasus.

Aku sejenak melihat lembaran brosur yang menampilkan informasi harga beberapa SIM card lokal. Setelah mempertimbangkan harga beberapa provider dengan harganya masing-masing, aku memutuskan untuk membeli SIM card dari provider Beeline yang menawarkan paket data 4G dengan harga  termurah dari provider lainnya.

Usai bertransaksi, untuk sejenak aku menunggu, gadis cantik itu melakukan penyetelan SIM card dalam gawai pintarku.

Tak lama kemudian….Datanglah seorang lelaki paruh baya menyeret travel bag berwarna gelap. Memperhatikan penampilannya, aku menebak dia adalah pejalan yang berasal dari kawasan Asia Tenggara.

Do you buy a SIM card in this phone shop?”, dia memulai percakapan dengan sebuah pertanyaan.

Yes, Sir…..Are you looking for a SIM card?”, aku memberikan jawaban dan pertanyaan singkat sekaligus

Yes, actuallyHow much do you buy?

7.000 Tenge for 4 Gigabyte data, Sir….Oh, ya where are you come from?”

I’m from Thailand….And you?”, dia tersenyum lebar

I’m from Indonesia, Sir…..We are neighbour each other”, aku terkekeh dan menepuk pundak kanan lelaki paruh baya itu.

Yea…yea….Hahaha….What are you doing in Almaty?

Just tourism, Sir….What is about you?

I want to ski in Almaty on a tour service for a week”, dia tampak sangat antusias

Are you going to Kazhakstan with this backpack only?”, dia menunjuk backpack biru dalam panggulanku

Yea….With this backpack, I will continue my journey to Turkiye and Serbia”, aku menengadahkan kedua telapak tanganku

Wooowww…..Amazing traveler”, dia tertawa kecil

Percakapan kami terhenti dengan selesainya gaids penjaga konter menyetel SIM cardku sehingga siap  digunakan untuk mengakses jaringan internet.

Konter mungil penjual SIM card lokal.

Aku pun berpamitan kepada lelaki paruh baya asal Negeri Gajah Putih itu. Aku sudah siap meninggalkan Almaty International Airport seketika.

Aku pun bergegas melangkah menuju exit gate. Namun, belum juga tiba di gate, seorang pemuda menghentikan langkahku.

Hello Sir, Introducing my self, my name is Yernar, I’m a volunteer in this airport. Do you a foreigner?…. Where will you go, Sir?….May I can help?

I want to go to Almaly District. From the information I got, I must get on an airport bus number 92. Can you show me, where its shelter is?

Oh, okay Sir…You can find the bus in the opposite of that drop-off zone….The bus will depart every 30 minutes….Have you installed the ONAY application….That application will ease you while using public transportation in Almaty”xn

Oh I see….I will download it now”, untuk sejenak aku berfokus ke layar gawai pintar.

Usai mengunduh aplikasi, remaja itu memanduku untuk melakukan top up di aplikasi menggunakan kartu kredit yang kumiliki. Namun untuk beberapa saat mencobanya, usaha itu tetap gagal.

Hingga pada akhirnya aku meminta pemuda itu untuk mentop-up nilai uang aplikasi ONAY ku dengan cara mentransfer senilai 10 Tenge dari aplikasi ONAY miliknya, lalu aku memberikan kepadanya sejumlah uang yang ditransfer itu kepadanya.

Urusan top-up aplikasi ONAY usai…..

Pemuda itu kemudian mengarahkanku untuk mengisi buku tamu yang diletakkan pada sebuah meja kecil yang dijaga oleh seorang gadis belia yang sepertinya masih menjadi seorang mahasiswi. Aku menuliskan nama dan asalku di buku itu kemudian untuk sejenak aku terkesima dengan kukunya yang panjang.

That are good nails”, aku menunjuk kuku panjangnya yang berwarna biru langit.

Thank you, Sir”, dia menampilkan senyum pemalunya di hadapanku.

Are all of you volunteer in Almaty International Airport?”, aku bertanya penasaran

Yes, Sir. We are students who are beeing volunteers here”.

Thank you for helping me. It’s my time to go to downtown”.

My pleasure, Sir….Enjoy your trip, Sir”.

Para volunteer muda yang baik hati.

Aku pun bergegas pergi menuju pintu keluar. Aku bersiap menghadapi bekunya udara Almaty di malam hari.

Catatan kaki:

Tenge*1) = Mata Uang Kazhakstan

Almaty International Airport: Why Atyrau?

<—-Kisah Sebelumnya

Pramugari telah membuka pintu kabin bagian depan dan juluran aerobridge telah menempel di badan pesawat. Aku berdiri dari tempat duduk bernomor 15C, merengkuh backpack di kompartemen bagasi di atas dan bersiap diri untuk keluar dari kabin.

Tepat pukul setengah empat sore….

Aku akhirnya menginjakkan kaki di bangunan terminal Almaty International Airport, bandara terbesar di Kazakhstan. Sedangkan dalam sejarah petualanganku, bandara ini menjadi bandara ke-38 dari keseluruhan 46 bandar udara di luar negeri yang pernah aku sambangi.

Menyusuri lorong di sepanjang aerobridge sangatlah tampak bahwa Almaty International Airport sedang berbenah diri. Deretan scaffolding berjajar rapat untuk proyek renovasi di ujung bangunan terminal.

Aku mulai memasuki arrival hall yang bentangan dinding kacanya mirip dengan bentangan yang sama milik Soekano-Hatta International Airport, tinggi menjulang dengan jorokan kemiringan yang sama. Tampak gagah dan elegan.

Seperti kebiasaan yang sudah-sudah, aku sengaja berdiri terdiam di sebuah titik koridor, menghadap ke arah kaca lalu mengamati aktivitas unloading di bawah kaki-kaki raksasa Uzbekistan Airways HY 763. Hal demikian sudah menjadi ritual bagiku ketika turun dari sebuah penerbangan sejak 2011. Untuk sementara waktu, aku benar-benar mengagumi bentuk Airbus A320neo yang terparkir tepat di hadapan.

Menyusuri aerobridge menuju bangunan bandara.
Pemandangan di apron.
Mirip Terminal 3, Soekarno Hatta International Airport kan?
Itu dia, Uzbekistan Airways HY 763, menggunakan Airbus A320neo.

Usai menuntaskan kebiasaan itu, aku kembali melangkah menyusuri jalur arrival hall yang pada ujung jalurnya menggiringku untuk menuruni tangga melingkar demi menggapai immigration zone.

Dalam beberapa menit kemudian, aku tiba di salah satu antrian imigrasi. Sementara itu, deretan konter imigrasi berbentuk box dijaga oleh petugas imigrasi berseragam hijau layaknya tentara.

Aku memperhatikan lekat-lekat salah satu petugas imigrasi berbadan mungil, tidak terlalu tinggi, berwajah khas Kaukasus tetapi bermata sipit. Memag berdasarkan literatur yang kubaca, paras warga Khazhakstan adalah perpaduan antara wajah Kaukasus dan Mongolia. Itu semua adalah pengaruh dari kolonialisme yang dilakukan oleh Jenghis Khan di Kawasan Asia Tengah di awal Abad ke-13.

Beberapa kali beberapa petugas imigrasi itu membuatkan jalur khusus untuk mendahulukan pelancong yang membawa anak-anak demi menghadap ke konter imigrasi. 

Drama lain yang terjadi di immigration zone adalah tertahannya dua pria India yang menghadap konter imigrasi berbeda dalam waktu bersamaan, keduanya sepertinya melakukan perjalanan bersama, hal itu terlihat dari akrabnya mereka bercakap-cakap ketika pada akhirnya diinterogasi secara bersamaan di salah satu konter imigrasi secara terpisah.

Namun belum juga usai dua pria India itu diinterogasi, tibalah giliranku untuk menghadap konter imigrasi. Aku menghadap ke staff imigrasi wanita di salah satu konter. Sempitnya tempat berdiri diantara dua konter membuatku harus menghadap staff imigrasi dengan posisi miring, untuk kemudian kuserahkan paspor kepadanya

What are you visiting Kazakhstan for?”, staff imigrasi wanita memulai percakapan.

Tourism, Mam”, aku berucap lantang.

Show your return ticket, please!

Maka kuserahkan e-ticket Air Astana yang telah kupesan kepadanya.

Why should you transit in Atyrau before going to Istanbul?”, dia kembali melontarkan pertanyaa.

“Because that is the cheapest route to Istanbul from Almaty”, aku menjelaskan singkat.

Setelah jawaban terakhir itu, akhirnya petugas imigrasi wanita itu membubuhkan arrival stamp di pasporku.

Conveyor belt area.
Conveyor belt area.

WELCOME ALMATY

WELCOME KAZAKHSTAN

Kisah Selanjutnya—->

Uzbekistan Airways HY 763: Gelisah Menuju Almaty

Aku turun dari bus berkelir hijau setelah setengah jam lamanya menaikinya dari pusat kota Tashkent. Bus kota bernomor 67 itu ternyata tak mengantarkan segenap penumpangnya hingga drop off zone, melainkan hanya pada pemberhentian tunggalnya, yaitu halte bandara.

Maka untuk menghindari kesalahan memilih, aku memutuskan untuk bertanya kepada seorang pengendara taksi tentang keberadaan terminal internasional.

Where will you go?”, dia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan.

Almaty”, aku menjawab penuh semangat

Just go to that terminal !”, telunjuknya jelas mengarah ke salah satu bangunan terminal

TOSHKENT XALQARO AEROPORTI”, aku membaca pelan signboard besar yang terpajang tepat di pusat bangunan terminal bandara.

Halte bus di bilangan Amir Temur Ko’chasi.
Bus No. 67 dengan rute Oqtepa ke airport.

Tanpa ragu aku segera melangkah melewati sisi timur bangunan bandara walaupun ada beberapa penjual ketengan valas yang menghadang demi membeli sisa Som*1) yang kumiliki. Tampaknya mereka tahu bahwa sebentar lagi aku akan meninggalkan Uzbekistan. Berkali-kali aku mengindahkannya, yang akhirnya membuat mereka menyerah dan melupakan keberadaanku.

Aku berhasil mencapai selasar depan bandara yang pagi itu dijaga oleh dua orang tentara berperawakan besar. Kemudian aku memasuki bagian dalam bandara usai menjalani pemeriksaan di screening gate yang dijaga oleh dua Aviation Security berparas cantik.

Aku segera melangkah menuju layar FIDS (Flight Infromation Display System) untuk memeriksa keakuratan jadwal penerbanganku menuju Almaty, kota terbesar kedua di Kazakhstan.

Waktu masih menujukkan tiga setengah jam dari waktu terbang, aku pun memutuskan menunggu untuk sementara waktu di sisi timur bangunan terminal. Aku menyantap sekerat Non*2) tersisa untuk mengganjal perut. Sepagian aku tak sempat bersarapan di penginapan karena harus mengejar keberangkatan bus menuju bandara.

Seusai bersarapan, aku merapikan lembaran Som tersisa untuk kemudian aku menukarnya di CASSIDA Moving Money Forward. Mendapatkan beberapa lembar dollar Amerika sebagai hasil penukaran, aku pun terduduk manis di salah satu bangku bangunan terminal selama satu setengah jam lamanya. Dalam duduk, aku lekat mengamati lalu lalang calon penumpang pesawat yang berasal dari berbagai ras, kesibukan para aviation security, staff bandara, polisi dan tentara. Tenru ini menjadi sebuah keasyikan tersendiri bagiku yang sendirian bersolo traveling.

Terminal Internasional, Tashkent International Airport.
Ruangan bagian dalam Tashkent International Airport.

Pukul sebelas kurang lima menit…..

Check-in desk bernomor 2,3 dan 4 dibuka untuk penerbangan Uzbekistan Airways HY 763. Aku pun segera merapat ke antrian. Tiba pada giliran, aku menghadap ke petugas check-in wanita berparas khas Kaukasus. Hanya ada sedikit percakapan antara aku dengannya, sebatas menanyakan ketersediaan visa Kazakhstan. Tentu aku mendapatkan boarding pass dengan mudah setelah menjelaskan kepadanya bahwa turis Indonesia mendapatkan free Visa untuk mengunjungi Kazakhstan.

Sukses mendapatkan boarding pass, aku pun menuju konter imigrasi. Keluar dari sebuah negara selalu saja menjadi proses termudah di konter imigrasi manapun. Begitupun siang itu, aku mendapatkan departure stamp dari seorang petugas imigrasi pria di salah satu konter, untuk kemudian jalur antrian mengarahkanku menuju screening gate.

Di screening gate, langkahku sempat dihentikan staff imigrasi yang duduk di awal jalur antrian masuk. Staff yang bertugas mengecek keberadaan departure stamp di setiap paspor calon penumpang pesawat itu berkali-kali secara bergantian melihat fotoku di paspor dan wajahku secara langsung. Aku yang sadar masalah pun menjelaskan kepadanya, “Sir, I’m bald because of the Umra I did a month ago”.

Ohhhhh….I understand….Ok…Ok”, dia manggut-manggut lalu menyerahkan kembali pasporku.

Seperti kebanyakan di bandara Asia Timur, melepas alas kaki khusunya sepatu boots saat melakukan screening sepertinya menjadi sebuah keharusan. Namun dalam proses screening itu, mereke meloloskan satu botol air mineral berukuran 600 ml dari backpackku.

Aku pun bergegas menuju Gate B9 karena Uzbekistan Airways HY 763 menuju Almaty akan diberangkatkan dari gerbang itu.

Meninggalkan screening area, aku mengindahkan keberadaan Duty Free Area. Untuk beberapa pejalan eksekutif, berburu wine produksi Uzbekistan mungkin menjadi hal yang menarik. Brand nasional mereka seperti Bagizagan, Sultan dan Bukhara menjadi serbuan para pengunjung bandara.

Keluar dari Duty Free Zone, aku terus memperhatikan penanda untuk menemukan keberadaan gate yang aku cari. Menemukan petunjuk, maka aku mencari tangga menuju lantai 1, karena Gate B9, B10 dan B11 berada di Lantai 1.

Menuruni tangga, akhirnya aku tiba juga di waiting room Gate B9. Deretan bangku hitam dengan armchair berjeda setiap dua kursi menghampar di dalam ruangan. Sedangkan pengelola bandara menyediakan satu outlet makanan dan minuman di salah satu sudut ruangan, PIE REPUBLIC adalah nama outlet tersebut.

Duty Free Zone.
Waiting Room Gate B9.

Hmmhh, aku harus menunggu satu jam setengah lamanya sebelum boarding time benar-benar tiba”, aku bergumam dalam hati.

Aku menyandarkan punggung di salah satu kursi, duduk manis, dan mengawasi sekitar……

Perlahan sebuah pesawat berjenis Airbus A320 milik maskapai Air Arabia merapat ke apron. Aku antusias melihatnya, teringat kembali pada perjalanan di awal 2020 silam yang memanfaatkan jasa maskapai itu ketika hendak berpindah dari Oman menuju Bahrain dan transit di Sharjah.

Tetapi dibalik ketenangan menunggu penerbangan, aku sebenernya menyimpan kecut hati. Aku sepenuhnya paham bahwa dalam beberapa jam ke depan, aku akan memasuki kota Almaty yang sebagian besar areanya diselimuti salju. Suhu udara akan jatuh bahkan bisa di bawah -10 derajat Celcius ketika ketika aku mendarat di sana. Aku mulai mengalami overthinking, bertanya pada diri tentang bagaimana cara mencari bus dan menemukan penginapan di kota Almaty ketika aku tiba nantinya. Tentu hal ini akan menjadi tantangan menegangkan.

Tak terasa……

Kelamaan berpikir dan khawatir, akhirnya panggilan untuk boarding pun tiba. Panggilan itu justru membuatku semakin khawatir mengingat petualanganku di daerah yang lebih dingin dari Tashkent akan segera dimulai.

Aku mulai memasuki antrian demi memasuki apron shuttle bus karena pesawat menunggu penumpangnya pada apron di titik lain nan jauh. Menunggu antrian selama tiga menit, aku pun memasuki apron shuttle bus kedua.

Untuk sejenak, aku mengikuti aliran bus melewati jalurnya di Tashkent International Airport hingga akhirnya aku tiba tepat di kaki- kaki raksana Uzbekistan Airways HY 763 sepuluh menit kemudian.

Aku mengantri di bawah passenger boarding stairs, tak sabar memasuki kabin pesawat berkelir bendera Uzbekistan yang sudah berdiri gagah di depan mata. Untuk kedua kalinya akan menaiki maskapai itu setelah tiga hari sebelumnya menaikinya pada rute Kuala Lumpur-Tashkent.

Menaiki satu demi satu anak tangga passenger boarding stairs, akhirnya aku berada tepat di depan pintu kabin belakang. Lalu aku merangsek melalui cabin aisle, awas mengamati deretan angka di kompartemen bagasi atas untuk mencari keberadaaan kursi bernomor 15C.

Aku menemukannya di tengah kabin. Aku pun segera menyimpan backpack biru 45L kesayanganku ke dalam kompartemen bagasi atas.

Satu hal yang menarik adalah hampir seluruh penumpang menjejalkan winter jacketnya ke dalam kompartemen yang menyebabkan penumpang lain terlihat kesulitan untuk menemukan ruang kosong dalam kompartemen untuk menyimpan bagasi mereka.

Aku yang berhasil menyimpan backpack, segera menduduki kursi bernomor 15C yang berlokasi tepat di sisi kiri cabin aisle, sementara dua bangku di sisi kiriku diduduki oleh dua gadis muda berambut pirang asal Uzbekistan.

Untuk beberapa saat aku harus sabar menunggu penumpan lain untuk duduk sebelum pesawat benar-benar siap untuk lepas landas. Siang itu peragaan keselamatan penerbangan yang biasanya dilakukan oleh awak kabin, digantikan dengan peragaan video yang ditampilkan pada layar LCD yang keluar dari kompartemen atas. Peragaan keselamatan itu tertampil sangat unik karena diceritakan melalui sebuah video yang mengambil latar belakang Uzbekistan di era para raja, sangat klasik.

Apron Shuttle Bus, Tashkent International Airport.
Uzbekistan Airways HY 763 rute Tashkent-Almaty.
Inflight meal Uzbekistan Airways HY 763.
Suasana kabin Uzbekistan Airways HY 763.

Melihat dengan antusias, membuat peragaan keselamatan penerbangan itu berlangsung dengan cepat. Sehingga pesawat benar-benar telah siap untuk mengudara.

Sejenak Uzbekistan Airways HY 763 berdiri gagah di ujung landasan, kapten penerbangan melakukan koordinasi dengan petugas ATC, meminta izin untuk lepas landas. Percakapan yang hanya sesaat terdengar itu pun berakhir. Desing suara mesin jet mulai meninggi, badan pesawat terhentak seketika, menciptakan momentum yang menghempaskan badan penumpang di sandaran kursi. Pesawat meluncur dengan cepat untuk kemudian melakukan airborne di ujung landasan satunya.

Aku meninggalkan Tashkent seketika….Menutup petualanganku di udara

Di dalam pesawat, aku terus gelisah, membayangkan diri yang akan tiba di Almaty saat gelap, jalanan akan dipenuhi salju dan berjibaku mencari bus kota menuju penginapan di pusat kota. Sementara roman muka tampak berbeda pada wajah kedua gadis berambut pirang di sisi kiriku. Mereka begitu bahagia menanti pesawat mendarat di Almaty.

Aku yang tak bisa memejamkan mata karena kegelisahan itu, akhirnya mulai mengamati awal kesibukan para pramugari yang mempersiapkan hidangan untuk para penumpang. Dua food trolley mulai didorong bersamaan dari kabin depan dan belakang. Para pramugari dengan cepat menaruh setiap paket hidangan yang sama ke semua penumpang.

Karena memang sudah terlewat dari waktu makan siang, aku pun menyantap sandwich yang ada di dalam paket inflight meal tersebut, lalu menyimpan makanan lainnya ke dalam folding bag yang kuletakkan di bawah kursi.

Tak terasa sembilan puluh menit mengudara, akhirnya pilot menginformasikan bahwa pesawat bersiap untuk melakukan pendaratan di Almaty International Airport.

Pesawat mulai merendah, pada titik tertentu bunyi hentakan dari lambung pesawat. “Tampaknya roda sudah dikeluarkan”, aku membatin.

Ketika berada pada ketinggian rendah, sangat tampak daratan Almaty yang serba putih. Seperti dugaanku, salju terhampar merata di seluruh daratan. Inilah pertama kali aku melihat salju di habitatnya secara langsung. Aku terkagum-kagum dan enggan untuk mengalihkan pandangan dari kaca jendela pesawat, khawatir melewatkan sedetik saja pemandangan mempesona itu.

Hingga akhirnya badan pesawat terhentak cukup kuat sebagai pertanda bahwa roda-roda pesawat telah menyentuh landasan. Lantas tepuk tangan para penumpang terdengar membahana di sepanjang kabin. Memang demikian budaya warga Asia Timur yang memberikan penghargaan kepada pilot dan awak kabin yang berhasil melakukan penerbangan dengan cara bertepuk tangan bersama-sama.

Sejenak pesawat melakukan taxiing menuju apron untuk menurunkan penumpangnya.

Som*1) = Mata uang Uzbekistan

Non*2) = Roti khas Uzbekistan

Kisah Selanjutnya—->

Wat Chedi Luang (2): Ladyboy Super Anggun

<—-Kisah Sebelumnya

Detak jantungku melambat, perasaanku menjadi tenang….Itu terjadi ketika aku berlama-lama memperhatikan warga lokal yang beribadat dengan menangkupkan dupa di kedua telapak tangannya serta mengucapkan do’a di pelataran dekat Phaya Yakkharat.

Pastinya, aku siap melanjutkan eksplorasi di luasnya Wat Chedi Luang. Maka melangkahlah aku ke sisi barat, melewati pelataran hijau di sebelah San Lak Mueang. Area rerumputan itu dibelah dengan batuan andesit yang disusun teratur sebagai pijakan kaki pengunjung demi menjaga keasrian rerumputan.

Aku meniti pelan batuan andesit itu hingga tiba di sebuah kuil kecil. Lalu memperhatikan sejenak dari luar, untuk kemudian perlahan menaiki anak tangga demi mendekati sebuah patung. Maka berdirilah aku sejenak di depan patung itu dan memperhatikan sekitar demi mencari informasi.

Adalah Phra Indra (Dewa Indra), patung tegap dari batu berwarna hitam, memegang trisula di tangan kirinya dan menunggangi seekor gajah putih berkepala tiga.

Ternyata ada juga Dewa Indra dalam agama Buddha di Thailand”, aku manggut-manggut sendirian.

Mengunjungi sejenak saja Phra Indra, aku kembali menelusuri jalan semula menuju pelataran depan San Lak Mueang.

Kini saatnya menuju ke bagian utama”, aku membatin penuh rasa penasaran.

Phra Indra.
San Lak Mueang.
Area donasi kuil.

Aku bergerak menuju pusat area kuil. Menyusuri jalur lebar dengan tenda di sisi kirinya. Satu rombongan turis tampak khusyu’ mendengarkan penjelasan dari pemandu lokal. Aku yang tak paham Bahasa Tiongkok, mencoba memahami maksud dengan mengamati gestur si pemandu.

Nantinya aku akan paham bahwa pemandu itu mengajak turis yang dibawanya untuk berdonasi kepada kuil dengan cara membeli daun emas yang bisa ditempelkan ke patung-patung Buddha yang disediakan di tenda tersebut.

Cara berdonasi lain juga bisa dilakukan dengan membeli sebuah kertas untuk kemudian si pembeli bisa menuliskan nama dan memasukkannya ke dalam peti.

Aku berdiri cukup lama melihat prosesi donasi para rombongan itu.

Begitu rombongan itu selesai melakukan donasi, maka pemandu mengajaknya menuju ke kuil utama. Aku pun menguntitnya dari belakang dan bersama rombongan turis itu aku memasuki kawasan utama kuil.

Maka berdirilah dengan megah, gagah, artistik dan relijius sebuah bangunan setinggi 82 meter. Aku telah benar-benar berhadapan dengan Wat Chedi Luang sore itu. Adalah bangunan berwarna merah bata dari abad ke-14 yang pembangunannya diperuntukkan sebagai tempat penyemayaman abu jenazah dari ayahanda Raja Saen Muang Ma.

Aku mengamati sejenak, tampak bagian tertinggi Chedi dihubungkan dengan lantai terbawahnya dengan undakan anak tangga yang pada pangkalnya dijaga oleh dua naga hitam berkepala lima.

Aku mengayunkan langkah ke utara, hingga langkah itu tetiba melambat ketika aku melihat keberadaan seorang perempuan cantik yang tampak mesra berbicara dengan seorang pria bule di sebuah bangku besi tepat di bawah pohon berketinggian rendah.

Aku mengeram langkah beberapa detik kemudian, berhenti penasaran…..Kurasa ada yang aneh.

Ada yang tak biasa dengan cara tertawa perempuan cantik itu. Aku berdiri sejenak meliriknya, dari tampilan detail yang kulihat dengan akurat, aku yakin dia adalah seorang ladyboy dengan paras menawan, anggun dan benar-benar mirip perempuan sejati…Luar biasa.

Hilang rasa penasaran itu, aku pun mulai mengindahkan keberadaan mereka berdua dan memilih untuk melanjutkan eksplorasi.

Wat Chedi Luang tampak dari timur.
Wat Chedi Luang tampak dari utara.
Buddhist Manuscript Library and Museum.
Buddha tidur di salah satu bagunan kuil.
Wihan Luangpu Mun Bhuridatto.

Maka sampailah aku di sudut utara, dihadapkan pada bangunan Khas Kerajaan Lan Na. Adapun nama bangunannya adalah Buddhist Manuscript Library and Museum, sebuah tempat penampung sejarah yang memiliki banyak koleksi fragmen potongan arca dan peninggalan lainnya terkait Buddhisme yang telah membumi di Thailand sejak beberapa abad silam.

Tak membutuhkan waktu lama di museum itu, hingga akhirnya aku memutuskan bergerak ke sisi barat. Di sisi itu terdapat sebuah wihara bernama Wihan Luangpu Mun Bhuridatto, sebuah bangunan keagamaan yang dibangun dengan arsitektur Kerajaan Lan Na dan dianggap meniru bentuk bangunan Wat Ton Kwen yang terletak di Royal Park Rajapruek.  Wihara ini dibangun pada abad ke-19 pada masa pemerintahan Raja Phra Chao Kawirorotsuriyawong, Raja ke-6 Chiang Mai, dan digunakan sebagai tempat penyimpanan kursi singgasana kerajaan. Bahkan wihara ini juga digunakan untuk menyimpan gigi geraham dan patung dari biksu Luangpu Mun, seorang biksu terkenal Thailand berdarah Laos yang berjasa mendirikan Tradisi Hutan Thai yang merupakan salah satu garis keturunan Buddha Theravada.

Dan akhirnya, dengan menyelesaikan kunjunganku di Wihan Luangpu Mun Bhuridatto, berarti aku telah menyelesaikan kunjungan di keseluruhan spot Wat Chedi Luang.

Sebuah keberuntungan bagiku bisa mengunjungi kuil agung itu dan seutuhnya aku bisa mengatakan dalam hati bahwa kunjungan di Wat Chedi Luang adalah hal yang sangat berkesan ketika aku berada di kota Chiang Mai.

From the Garden City to the Green Hills: Bangalore to Wayanad Adventure

Introduction

Bangalore, also referred to as the “Garden City of India,” is a thriving city renowned for its energetic urban environment and thriving IT sector. But sometimes, in the middle of this hectic existence, the pull of nature becomes too strong. Nestled in the Western Ghats, Wayanad is a verdant paradise that is only a few hours’ drive from Bangalore. This post describes the trip from Bangalore to Wayanad Green Hills and explains why it’s the ideal getaway for Bangaloreans looking for peace and adventure.

The Desire to Get Away in Nature

Bangaloreans frequently find themselves longing for a getaway from the concrete jungle as the sun rises above the city’s skyscrapers and technological parks. The everyday grind, workplace meetings, and traffic congestion of the city may exhaust even the most dedicated urbanite. The verdant hills and placid surroundings of Wayanad appeal like a peaceful oasis and a safe shelter for exploration during these times.

The Wayanad Road

The trip from Bangalore to Wayanad is a tale unto itself, full of encounters that change from the city to the countryside, from the busy to the peaceful, and from the familiar to the unfamiliar. The roughly 280-kilometer car excursion reveals an amazing planet.

Mysore: A Royal Prelude A stopover in Mysore 

en route to Wayanad sets the stage for a royal adventure. This historic city, renowned for its grandeur, is highlighted by the majestic Mysore Palace, whose Indo-Saracenic architecture and opulent interiors offer a glimpse into the royal heritage of Mysore. It’s a stunning prelude to the grandeur of the Western Ghats. Those seeking spiritual solace can find solace in the city’s neighboring Chamundi Hill, with its Chamundeshwari Temple. Climbing this sacred hill offers breathtaking panoramic views of Mysore and an opportunity to reflect and refresh.

Bandipur: A Wilderness Break

The route to Wayanad winds through the vast Bandipur National Park, one of India’s most important wildlife sanctuaries, as it leaves Mysore behind. The adventure is enhanced by the possibility of seeing a range of species, including deer and elephants.

The breathtaking natural splendor of the Western Ghats is vividly brought to memory by the Bandipur experience. You get the impression that you are in a real wilderness because of the deep trees, vibrant vegetation, and the sounds of the wild. You become aware that you are entering a new world at this point.

Gateway to the Green Hills: Wayanad

The boundary between Karnataka and Kerala is where Wayanad, a region known for its pristine natural beauty, begins. It’s noticeable to move from the busy metropolis of Karnataka to Kerala’s meandering highways and verdant plantations. The aroma of spices such as pepper, cardamom, and coffee permeates the air, giving a taste preview of what’s to come.

The main town of Wayanad, Sultan Bathery, serves as your entry point to this fascinating area. Historical importance may be found in the town’s name, which is thought to be derived from Tipu Sultan, who sheltered there during one of his military expeditions. Sultan Bathery is the ideal starting point for your Wayanad excursion, with a variety of lodging choices ranging from cozy homestays to upscale resorts.

The Natural Charms of Wayanad

Wayanad, an area endowed with pristine natural beauty, has plenty to offer lovers of the outdoors:

Chembra Peak: The tallest mountain in Wayanad, Chembra mountain, is a trekker’s paradise. The walk offers panoramic views and the heart-shaped Chembra Lake at the peak is a fascinating sight.

Banasura Sagar Dam: Encircled by the verdant Banasura Hills, Banasura Sagar Dam is the biggest earthen dam in India. A peaceful experience is taking a boat trip on the dam.

Edakkal Caves: The Neolithic rock carvings found in the Edakkal Caves provide a fascinating window into the history and culture of the area.

Meenmutty Falls: This three-tiered waterfall is hidden away in the jungle and can only be reached by hiking through it; the trip itself is just as worthwhile as the goal.

Thirunelli Sanctuary: This historic Hindu temple is a serene, spiritual place hidden away among beautiful vegetation.

Wayanad Wildlife Sanctuary: With a wide variety of plants and animals, the sanctuary offers views of elephants, tigers, leopards, and a variety of bird species.

Accepting the Traditions

Wayanad is home to a rich cultural legacy in addition to its natural beauty. The Paniya, Kurichiya, and Kattunayakan indigenous tribes in Wayanad have distinctive lifestyles that are intricately entwined with the forests. Experience their rituals, traditions, and artistic creations by going to their tribal communities. Their unique dancing styles and artisan handwoven goods provide a window into the rich cultural diversity of the area.

In summary

Traveling from Bangalore’s Garden City to Wayanad’s Green Hills is an experience that transcends simple transportation. Traveling from the crowded urban jungle to the untainted wildness of the Western Ghats is the goal. You may discover calm, refuel your soul, and re-establish a connection with the natural world via it.

Together with recollections of delicious meals and breathtaking scenery, you return to Bangalore with a sense of inner calm and quiet that comes only from Wayanad. Traveling from Bangalore to Wayanad is an enchanting voyage through a beautiful nature that revitalizes and revives the tired spirit of the city. So gather your belongings, go on the road, and discover the wonders of Wayanad starting at the Garden City to the Green Hills.

Wat Chedi Luang (1): Lelah di Tempat Pembakaran Dupa

<—-Kisah Sebelumnya

Langkahku sedikit melambat ketika meninggalkan Wat Muen Tum, itu karena letak destinasiku tak jauh lagi, hanya berjarak tiga ratus meter lagi.

Tetapi belum juga sampai di tujuan, langkahku dihadang oleh keberadaan kuil lain. Wat Chang Taem namanya. Kuil ini adalah vihara tempat disimpannya Buddha Fon Saen Ha yang berusia lebih dari seribu tahun. Fon Saen Ha sendiri memiliki makna sepuluh ribu tetes hujan, maka khalayak sering memanggil Wat Chang Taem sebagai “Kuil Sepuluh Ribu Tetes Hujan”.

Namun, aku harus merelakan destinasi itu karena waktu yang sangat terbatas. Aku memilih untuk melanjutkan langkah menuju tujuan utama.

Namun sejenak aku menghentikan langkah, sebuah pesan Whatsapp datang dari pimpinan di perusahaan tempatku bekerja. Aku diminta membeli beberapa perlengkapan untuk dibawa di acara konferensi di Phuket.

Beruntung, aku melihat keberadaan sebuah gerai 7-Eleven di ujung blok. Tanpa pikir panjang, aku melangkah menujunya dan berbelanja kebutuhan konferensi di gerai itu.

Aku memang harus standby kapan pun perihal pekerjaani, karena tujuanku datang ke Thailand adalah menghadiri sales conference di Phuket yang akan berlangsung tiga hari semenjak ketibaanku di Chiang Mai.

Lepas menyelesaikan urusan belanja kantor, aku segera melanjutkan eksplorasi. Beruntung tujuan utama destinasi hari itu ada di seberang gerai 7-Eleven.

Adalah Wat Chedi Luang, sebuah kuil yang berasal dari abad ke-14 yang sore itu telah berada di hadapan. Aku memang tak bisa melihat bagian dalamnya, kerena setiap sisi pelataran kuil ditutup oleh tembok.

Aku yang diselimuti rasa penasaran, segera memasuki gerbang, mengambil antrian di loket penjualan tiket. Antrian yang tak terlalu panjang, membuatku lebih cepat dalam medapatkan tiket, setelah aku menyerahkan uang sebesar 50 Baht kepada seorang penjaga loket wanita berusia muda.

Kompleks Wat Chedi Luang tampak depan.
Loket penjualan tiket Wat Chedi Luang.

Bagian pertama dari Wat Chedi Luang yang kusambangi adalah San Lak Mueang. “Lak Mueang” berarti “Pilar Kota”, hal ini merujuk pada adat isitiadat di Thailand yang selalu membuat pilar tunggal pertama sebelum membangun sebuah kota. Pilar ini biasanya dibuat dari batang pohon Akasia dan ditaruh di sebuah kuil kota.

Di San Lak Mueang, aku tak bisa melihat keberadaan “Pilar Kota” yang dimaksud karena pilar itu telah diabadikan di dalam tanah.

Selain patung King Kawila (Raja Chiang Mai yang memerintah pada abad ke-18) yang kutemukan di bagian depan San Lak Mueang, aku juga menemukan papan yang menjelaskan aturan berkunjung dimana wanita yang sedang mengalami menstruasi dilarang berkunjung karena dianggap akan mempermalukan dan merusak kesucian “Pilar Kota”.

San Lak Mueang dengan patung King Kawila.
Bagian dalam San Lak Mueang.

Lepas mengunjungi San Lak Mueang, aku bergeser ke sisi selatan area kuil. Terdapat satu bangunan unik dengan patung raksasa berwarna hijau. Raksasa itu bernama Phaya Yakkharat yang merupakan penjaga “Pilar Kota” di sisi selatan dan dibangun pada abad ke-18 oleh Raja Kawila.

Di area Wat Chedi Luang juga terdapat raksasa dengan fungui serupa di sisi utara kuil, namaya Wat Amonthep. Keduanya telah ditakdirkan untuk menjaga “Inthakhin” atau “Pilar Kota” Chiang Mai.

Kuil Phaya Yakkharat.
Phaya Yakkharat si penjaga setia Inthakhin.

Aku merasa Lelah lepas mengunjungi Phaya Yakkharat, oleh karenanya aku memilih istirahat sejenak dan duduk di belakang sebuah area lapang dimana para pengunjung memanjatkan do’a dengan membakar dupa.

Untuk sementara aku menikmati aktivitas religius itu sebelum melanjutkan perjalanan mengeksplorasi Wat Chedi Luang yang memiliki luas tak kurang dari enam hektar.

Kisah Selanjutnya—->

All You Need to Know about Kedarnath Yatra

Introduction

Kedarnath, situated in the state of Uttarakhand, India, is a widely acclaimed pilgrimage center of great significance. Tucked away in the serene embrace of the Garhwal Himalayas, it rests at an impressive altitude of approximately 3,583 meters. Kedarnath holds a revered place in the hearts of Hindus, being regarded as one of their holiest destinations.

In the following article, we embark on a comprehensive exploration of the Kedarnath Yatra, endeavoring to unravel its profound importance, guide you on the optimal seasons for a visit, delineate the trekking trail, and shed light on the myriad attractions that grace the region’s landscape.

Significance of Kedarnath:

Kedarnath holds immense religious significance for Hindus as it is believed to be one of the twelve Jyotirlingas (lingams of light) of Lord Shiva. According to Hindu mythology, Lord Shiva appeared here in the form of a fiery column of light to bless the Pandavas, the central characters of the ancient epic Mahabharata. The main deity in the Kedarnath temple is a Shiva Lingam, which is considered to be self-manifested and is worshipped with great reverence.

Best Time to Visit:

The Kedarnath Yatra traditionally kicks off in late April or early May, concluding in November. The prime period for visiting Kedarnath falls within the summer months, spanning from May to June, characterized by agreeable weather conditions and accessibility to the temple. Conversely, the monsoon season, spanning July to September, ushers in copious rainfall and frequent landslides, rendering the pilgrimage quite challenging. Finally, the winter season, from November to April, is marked by heavy snowfall, leading to the temple’s closure and the temporary suspension of the yatra.

Trekking Route:

The Kedarnath Yatra involves a mountainous trek of approximately 16 kilometers from Gaurikund to Kedarnath. Gaurikund serves as the starting point for the pilgrimage, and it is easily accessible by road from major cities in Uttarakhand. The trek passes through picturesque landscapes, dense forests, and several small villages, offering breathtaking views of the snow-capped peaks of the Himalayas.

En route to Kedarnath, pilgrims come across various significant landmarks, including the Triyuginarayan temple, which is believed to be the location of Lord Shiva and Goddess Parvati’s celestial wedding. It is a popular site for devotees to take a break and seek blessings before continuing their journey.

Accommodation Options:

Throughout the trek, there are several stops where pilgrims can find accommodation options ranging from dharamshalas (guesthouses) to tented camps. These accommodations provide basic facilities such as food, shelter, and medical assistance. It is advisable to make prior bookings due to the heavy influx of pilgrims during the peak season. Once pilgrims reach Kedarnath, there are lodges and guesthouses available for an overnight stay.

Kedarnath Temple and Rituals:

The Kedarnath temple, a masterpiece of ancient architecture, is the main attraction of the yatra. It is built from large stone slabs and stands amidst the mighty mountains, providing a serene and divine atmosphere. The temple is open for darshan (worship) from 6:00 AM to 2:00 PM and then from 5:00 PM to 9:00 PM, during which devotees can offer their prayers and seek blessings from Lord Shiva.

Several rituals are performed at the Kedarnath temple, including the Rudra Abhishekam, where the Shiva Lingam is bathed with various sacred substances such as milk, Ghee (clarified butter), honey, and water. Aartis (devotional worship) and bhajans (hymns) are also conducted, creating a spiritual ambiance that resonates with the devotees.

Other Attractions:

Apart from the Kedarnath temple, there are several other attractions in and around the area that are worth exploring. One such attraction is the Vasuki Tal lake, situated at an elevation of 4,150 meters. This picturesque lake offers breathtaking views of the surrounding glacier-covered peaks and provides a peaceful environment for meditation and relaxation.

Another notable landmark near Kedarnath is the Chorabari Tal, also known as Gandhi Sarovar, which is a glacial lake formed from the melting of the Chorabari glacier. This lake holds religious significance and is a popular pit stop for pilgrims undertaking the yatra.

The Kedarnath Yatra is a spiritual journey that offers a unique opportunity to connect with divinity amidst the majestic Himalayas. The trek through the scenic landscapes, the serene ambiance of the Kedarnath temple, and the rituals performed during the pilgrimage create an unforgettable and transformative experience. It is a pilgrimage that holds immense religious and cultural importance for Hindus, and it continues to attract devotees from all over the world who seek solace, devotion, and a deeper connection with the divine.

Wat Muen Tum: Tempat Dimana Raja Memulai Tahta

<—-Kisah Sebelumnya

Aku masih menyisir sisi barat Prapokkloa Road. Jalanan arteri semakin ramai saja seiring menit berjalan, mungkin karena matahari tak lagi garang.

Lagi…..Tiga menit melangkah, aku melihat keberadaan sebuah kuil di sisi timur jalan. Kali ini berbeda, tak seperti Wat Jet Lin yang senyap. Kuil yang ada di hadapan tampak lebih dinamis, ada beberara biksu muda sedang beraktivitas di dalamnya, juga para wisatawan yang hilir mudik, keluar masuk kuil.

Aktivitas itu berhasil menggagalkan niatku yang pada awalnya ingin melewatkan saja keberadaan kuil itu.

Aku pun mulai menyeberangi Prapokkloa Road. Jalan dua arah selebar tak kurang dari enam meter itu belum begitu ramai dengan kendaraan yang melintas.

Berhasil menyeberang, aku berhasil tiba tepat di depan gerbang kuil, menghadap sebuah papan nama beton.

Wat Muentoom”, aku membacanya jelas.

Bak memasuki gerbang istana Kerajaan Lan Na, aku mulai menginjakkan kaki di halaman kuil. Tampak dua biksu muda sedang sibuk mengurusi kuil. Satu biksu tampak sedang menyirami tanaman di sekitar kuil. Sedangkan seorang lagi tampak duduk di bawah tenda sedang menyiapkan perlengkapan peribadatan.

Aku sepenuhnya paham bahwa mengambil foto biksu tanpa izin adalah tindakan yang tidak terpuji, maka kuputuskan untuk langsung saja menuju ke bangunan belakang kuil.

Menyisir bangunan dari sisi selatan, aku terpesona dengan keberadaan bentuk ukir dari makhluk mitologi Buddha yang berwujud setengah manusia dan setengah burung, Kinnara nama makhluk itu. Dalam ajaran Buddha, Kinnara adalah makhluk surgawi yang pandai memainkan kecapi.

Tiba di bagian belakang kuil, aku menemukan area lapang yang menjadi tempat parkir beberapa mobil milik pemerintah yang mungkin digunakan sebagai inventaris kuil dan sebagian lagi kuduga adalah milik pengunjung kuil.

Aku berdiri lama di area parkir nan lapang demi menikmati keindahan arsitektur kuil, untuk kemudian berusah mencari informasi apapun mengenai kuil di hadapan.

Gerbang Wat Muen Tum tampak depan
Kuil utama Wat Muen Tum.
Sisi selatan Wat Muen Tum.
Bangunan bagian belakang Wat Muen Tum.
Perwujudan Chinte.

Mue Tum?……

Menilik secara historis, kata “Muen Tum” pada kuil ini merujuk pada seorang bangsawan kerajaan. Sudah bisa ditebak bahwa dialah yang membangun kuil ini.

Sedangkan secara fungsi, Wat Muen Tum akan digunakan sebagai tempat penjemputan raja baru Dinasti Mangrai yang akan naik tahta setelah dimandi sucikan di Wat Phakhao. Wat Phakhao juga dikenal sebagai White Cloth Temple (Kuil Kain Putih) karena raja yang akan dinobatkan akan dimandikan dalam pakaian serba putih di kuil ini. Wat Phakhao sendiri terletak setengah kilometer di timur Wat Muen Tum.

Kembali ke pelataran belakang Wat Muen Tum. Di bagian ini aku juga menemukan bangunan dengan arsitektur khas Kerajaan Lan Na, yaitu memiliki atap bertingkat dengan kemiringan tinggi. Listplank di sepanjang tingkatan atap mengadopsi bentuk tubuh naga dengan kepalanya di setiap ujung atapnya.

Sedangkan di setiap sisi pintu kuil dijaga oleh sepasang Chinte, yaitu perwujudan singa yan menjadi ikon religi di Thailand.

Sejenak untuk terakhir kali, aku kembali berdiri di pelataran belakang, menikmati keindahan Wat Muen Tum yang dalam waktu beberapa menit ke depan, akan kutinggalkan.

Lima menit menjadi waktu yang sangat cepat untuk menikmati keindahan Wat Muen Tum. Tetapi memang aku harus terpaksa pergi karena waktu hampir menginjak pukul setengah lima sore.

Kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan. Aku menuju ke bagian depan kuil melalui sisi utaranya. Dan begitu tiba di Prappokkloa Road, aku kembali melanjutkan langkah menuju utara.

Kisah Selanjutnya—->

Things You Need to Know about Leh Ladakh Bike Trip

Introduction:

Conversating on a Leh Ladakh bike trip is a dream for many adventure enthusiasts and travel affectionists. Situated in the Himalayan region of India, Ladakh offbreath landscapes, challenging heights, and an experience that’s nothing short of excitement. However, a successful bike trip requires meticulous planning, especially when it comes to budgeting and costs. In this guide, we’ll delve into the various aspects of planning a Leh Ladakh bike trip, including costs, tips, and a sample itinerary.

Budgeting and Costs:

Before revving up your bike and hitting the road, it’s crucial to have a clear understanding of the costs involved. While the actual expenses can vary based on factors like the duration of your trip, type of accommodation, and personal preferences, here’s a breakdown of the major expenses to consider:

Travel and Accommodation: The travel costs primarily include fuel for your bike. The distance from your starting point to Leh can impact this significantly. Accommodation options range from budget guesthouses to luxury hotels. Camping is also a popular and budget-friendly option.

Permits and Fees: Ladakh is a protected region, and tourists are required to obtain Inner Line Permits to visit certain areas. These permits come with a nominal fee.

Food and Drinks: Food expenses can vary depending on whether you choose to dine at local eateries or prefer restaurants. Local cuisine is generally more affordable.

Rentals and Repairs: If you’re renting a bike, factor in the rental charges and also keep a buffer for any potential repairs your bike might need during the journey.

Miscellaneous: This includes expenses for activities like sightseeing, shopping, and any unexpected costs that may arise during the trip.

Tips for Cost-Effective Travel:

While a Leh Ladakh bike trip can be a memorable experience, it’s important to keep your expenses in check. Here are some tips to help you make the most of your adventure while being budget-conscious:

Travel with a Group: Traveling in a group can help in cost-sharing for accommodation, fuel, and other expenses. Plus, it’s safer and more enjoyable to share the experience with others.

Pack Light: Carrying excess baggage can impact your bike’s fuel efficiency. Pack only the essentials to save on fuel costs.

Choose Accommodation Wisely: Consider budget options like guesthouses, hostels, and camping sites. This not only saves money but also offers a more immersive experience.

Eat Local: Indulge in the local cuisine as it’s often more affordable than eating at fancy restaurants. Plus, it’s a great way to experience the culture.

DIY vs. Guided Tours: While guided tours provide convenience, planning your own trip gives you more control over your expenses. Research and plan the route beforehand.

Maintenance Check: Ensure your bike is in top condition before starting the trip. Regular maintenance can prevent costly breakdowns during the journey.

Sample Itinerary:

Here’s a sample 10-day itinerary for a Leh Ladakh bike trip, focusing on key destinations and approximate costs:

Day 1-2: Start your journey from Manali, covering around 330 km. Stay in budget guesthouses (approximately $15-25 per night).

Day 3-4: Ride to Jispa (138 km) and then to Sarchu (80 km). Camp in Sarchu or opt for budget accommodations.

Day 5: Head to Leh (250 km). This leg might have slightly higher fuel costs due to longer distance.

Day 6-7: Explore Leh and nearby attractions. Visit monasteries and enjoy local cuisine.

Day 8: Ride to Nubra Valley (150 km). Experience the famous sand dunes and stay in a guesthouse.

Day 9: Proceed to Pangong Lake (160 km). Camp by the stunning lake under the stars.

Day 10: Return to Leh. Relax and prepare for your journey back home.

Conclusion:

A Leh Ladakh bike trip is an adventure of a lifetime, offering unmatched natural beauty and an adrenaline rush like no other. While costs are a significant aspect of planning, careful budgeting and smart choices can make the journey affordable without compromising on experiences. Whether you’re a solo traveler or part of a group, the memories and stories you’ll gather from this journey will undoubtedly be worth every penny spent. So, plan wisely, ride safely, and get ready to create unforgettable memories amidst the majestic Himalayas.

Wat Jet Lin: Sisi Artistik di Prapokkloa Road

<—-Kisah Sebelumnya

Jarum jam merangkak pasti menuju angka empat ketika aku terperanjat dan terbangun.

Usai makan siang, untuk beberapa saat aku tertidur pulas di bunk bed tingkat atas milik Le Light House & Hostel. Mungkin tidur yang tak nyenyak di Changi International Airport pada malam sebelum kedatanganku di Chiang Mai yang membuatnya demikian.

Aku merengkuh folding bag di sisi ranjang dan menuruni bunk bed dengan pelan. Tentu aku tak mau mengganggu pelancong lain yang sedang tidur siang. Beruntung sesaat sebelum terlelap, aku telah menyiapkan semua perlengkapan eksplorasi dalam folding bag kecil dan sudah menyimpan travel bag pada sebuah loker yang disediakan hostel.

Dengan langkah sedikit berjinjit, aku menyapa dua staff hostel wanita yang duduk di samping salah satu bunk bed yang telah selesai dibersihkannya. Satu diantaranya tampak sedang meratakan sprei yang baru saja dipasangnya.

Sawadikap”, aku menyapanya sangat pelan.

Keduanya pun menjawab dengan kata yang sama sembari menangkupkan kedua telapak tangannya di dada.

Keluar dari pintu kaca geser, aku menuruni tangga dan mulai mengenakan sepatu, demikian adanya, sepatu memang yang harus dilepas di lantai bawah sesuai aturan hostel.

Akhirnya aku meninggalkan hostel dengan menyusuri Bumrung Buri Alley 4, sebuah jalanan kampung yang bisa menembuskanku menuju Prapokkloa Road dimana destinasi yang akan kutuju berada.

Sepinya jalan kampung itu berhasil menyiutkan nyali sore itu. Aku hanya terus melangkah secepat mungkin demi segera menemukan jalan arteri. Aku berfokus untuk segera menemukan keramaian. Beruntung dalam enam menit aku tiba di jalan utama.

Aku pun menurunkan tempo, melangkah lebih pelan dan menikmati pemandangan di sisi kiri dan kanan Prapokkloa Road.

Prapokkloa Road Soi 4

Tampak beberapa pedagang kaki lama, mulai menyiapkan lapak demi menyambut keramaian malam yang dalam beberapa menit kemudian akan hadir. Penggorengan dan panggangan mulai dipanasi, bahan-bahan makanan mulai dikeluarkan dari freezer box, dan lampu penerangan pun mulai dinyalakan.

Aku terus melangkah di bawah siraman mentari sore yang masih sedikit menyengat. Beberapa turis asing pun sama, berseliweran di setiap titik di ruas Prapokkloa Road demi menggapai destinasinya masing-masing.

Aku cukup menyadari bahwa Chiang Mai dikenal sebagai kota terbesar kedua di Thailand yang memiliki tujuh puluh kuil di dalamnya. Jadi sudah pasti, aku akan mudah menemukan kuil di sepanjang jalan-jalan arteri di Chiang Mai.

Benar saja, delapan menit sejak pertama kali melangkah meninggalkan hostel, aku menjumpai sebuah kuil. Adalah Wat Jet Lin yang menjadi kuil pertama yang kutemui di Chiang Mai.

Wat Jet Lin atau orang lokal menyebutnya Wat Chedlin berdiri artistik dengan warna dominan putih dan berpagar batu bata merah di sekelilingnya. Ketika aku tiba, Wat Jet Lin tampak sepi dan tiada satu orang pun di dalamnya. Oleh karenanya aku memutuskan untuk tidak menyinggahinya. Itu juga karena tujuan utama sore itu bukanlah Wat Jet Lin.

Wat Jet Lin tampak depan.
Wat Jet Lin tampak samping.

Aku harus segera mencapai tujuan sebelum gelap mengakuisisi hari”, gumamku dalam hati.

Kisah Selanjutnya—->